Jam digital

Jumat, 04 Juni 2010

REGULASI PILKADA PERLU SINKRONISASI DAN HARMONISASI

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Arif Wibowo mengatakan,  pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang akan digelar di seluruh provinsi kemungkinan besar tidak akan berlangsung dengan sempurna dan baik. Hal ini disebabkan salah satunya adalah carut marutnya regulasi yang terkait dengan pelaksananaan Pilkada.
            Hal itu disampaikan saat Dialog Interaktif bersama RRI Pro 3, Jum;at (4/6) di Gedung Nusantara III DPR, usai melakukan kunjungan lapangan ke Provinsi  Kepulauan Riau baru-baru ini. 
            Arif mengatakan, dalam rangka memantau pelaksanaan Pilkada, Komisi II DPR telah menurunkan timnya ke enam provinsi yaitu, Provinsi Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Lampung dan Jawa Tengah.
            Di tahun 2010 ini, seluruh provinsi di Indonesia akan melaksanakan Pilkada di 244 daerah. Untuk itu, Komisi II DPR perlu memantau langsung pelaksanan Pilkada yang akan berlangsung diberbagai daerah tersebut. 
         Dia mengatakan, jauh sebelumnya Komisi II DPR sudah memperingatkan kepada KPU, Kementerian Dalam Negeri dan Bawaslu tentang kemungkinan Pilkada tidak berjalan dengan baik.
            Hal ini disebabkan salah satunya adalah, carut marutnya regulasi yang ada. Ada dua UU yang mendasari untuk pelaksanaan Pilkada, yaitu UU  Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. UU yang satu mengatur tentang proses Pilkadanya, tetapi yang satu mengatur tentang penyelenggaranya (KPU berikut jajarannya sampai dengan KPPS dan juga Bawaslu sampai dengan Pengawas Pemilu lapangan).
            Hanya saja di kedua UU itu, kata Arif, ada pasal-pasal yang mengatur perihal yang sama, misalnya, kapan pelaksanaan Pilkada dimulai.  Kalau UU 22 Tahun 2007 mengatakan, akan dimulai saat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk sekurang-kurangnya satu tahun sebelum akhir masa jabatan dari setiap daerah yang akan melangsungkan Pilkada. Sementara, UU 32 Tahun 2004 mengatakan lima bulan sejak surat DPRD memberitahukan kepada beberapa pihak terkait. “Perbedaan inilah yang menjadi masalah,” katanya.
            Arif menambahkan, untuk memahami hal itu tampaknya bukan hal yang mudah. Itulah yang kemudian menyebabkan perbedaan persepsi muncul disana-sini, termasuk yang paling memprihatinkan jika itu terjadi di lembaga penyelenggaranya sendiri.
Seperti basis data yang digunakan untuk pemutakhiran data pemilih dalam UU 22 Tahun 2007 menyatakan berasal dari Dinas Kependudukan, tapi UU 32 Tahun 2004 mengatakan basis data diambil dari Daftar Pemilih Tetap Pemilu yang paling akhir, yaitu Pemilihan Presiden.
Terhadap perbedaan tersebut, KPU mengaturnya dengan satu regulasi yaitu Peraturan KPU Nomor 67 tentang Pemutakhiran Data Pemilih, dan mengatakan basis data dapat diambil  dengan menggunakan kedua-duanya. “Ini tentu saja akan menyulitkan di dalam proses pemutakhiran data,” tambahnya.
            Lebih jauh Arif mengatakan, sebetulnya dia cukup keras menyuarakan sebaiknya Pilkada 2010 ditunda. Karena, banyak hal yang harus dibereskan, dirapikan dan diselesaikankan terlebih dulu terkait dengan regulasi di atas. Semestinya, kata Arif, regulasi ini disinkronisasi dan diharmonisasikan terlebih dulu supaya tidak terjadi hal-hal di atas.
Selain masalah regulasi, Tahun 2009 kita melangsungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Semua daerah terkonsentrasi pada pelaksanaan dua Pemilu tersebut, sehingga persiapan Pilkada 2010 nyaris tidak diperhatikan sama sekali.
Padahal, katanya, dari sisi proses Pilkada 2010  sebagian tahapannya dimulai di 2009,  kalau kemudian tidak dipersiapkan sejak tahun 2009 maka yang terjadi begitu memasuki Pilkada 2010 niscaya penyelenggaranya tidak akan siap.
            Hal yang tak kalah pentingnya adalah masalah anggaran. Secara umum di tahun 2010 ini daerah-daerah tidak siap, karena tahun 2009 mereka berkonsentrasi untuk urusan Pemilu Legislatif dan Pilpres. Padahal anggaran itu juga harus dipersiapkan di tahun 2009.
            Perlu diingat, Pasal 114 UU 32/2004 mengatakan, anggaran pelaksanaan Pilkada  dibebankan pada APBD bukan APBN. Dengan terlambatnya anggaran yang turun otomatis berpengaruh pada terbentuknya penyelenggara. Banyak PPK dan PPS yang dibentuk mendadak, sehingga bisa dipastikan tidak mungkin bisa bekerja dengan baik.
Padahal salah satu tugas PPS adalah membentuk Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (P2DP) yang bertugas untuk memutakhirkan data pemilih. “Kalau itu terbentuknya terlambat pasti batas waktu untuk bekerjanya juga sedikit, kalau batas waktunya hanya sedikit yang dihasilkan DPT-nya ya pasti amburadul lagi,” kata Arif. (tt) Foto:Iwan Armanias.
sumber : DPR-RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan isikan Pesan dan Komentar anda tentunya tidak mengandung unsur Zara, Fitnah dan perbuatan yang tidak terpuji.